Munggahan, Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan di Banten
Tradisi Munggahan di Banten |
Bantensite_Bulan ramadhan, ia adalah bulan dimana pintu-pintu pahala terbuka begitu lebar dan ladang-ladang amal terhampar luas disetiap sudut dan kesempatan. Selayaknya tamu agung yang sangat istimewa, kedatangan bulan ramadhan pun biasanya disambut dengan suka cita melalui berbagai ragam cara. Tak ubahnya wilayah lain di Indonesia yang Mayoritas berpenduduk muslim, di Banten juga terdapat sebuah kebiasaan masyarakat yang biasa dilakukan ketika menjelang memasuki bulan Ramadhan, ialah ungkapan rasa syukur yang di wujudkan dalam sebuah tradisi yang masih tetap terjaga dari generasi ke generasi yaitu “Munggahan”.
Bagi masyarakat di luar Banten atau Masyarakat Sunda kata Munggahan mungkin masih terdengar asing, hal itu bukanlah sebuah keanehan karena pada dasarnya setiap daerah memiliki tradisi yang hampir sama namun dengan penamaan yang berbeda. Meski dengan penamaan yang berbeda-beda, substansi dari tradisi-tradisi ini tetaplah sama yaitu menyambut dengan suka cita datangnya bulan suci ramadhan.
Baca Juga : Dogdog Lojor, Alat Musik Tabuh Tradisional dari Banten
Munggahan itu sendiri adalah sebuah tradisi masyarakat yang biasanya dilaksanakan pada hari-hari terakhir bulan Sya’ban, yaitu sekitar 7-1 hari menjelang munggah ke bulan Ramadhan. Kata “munggahan” sendiri berasal dari bahasa sunda yaitu “Munggah” yang berarti “Naik” atau dapat juga diartikan sebagai “pindah ke tempat yang lebih tinggi”, yaitu dengan makna kita akan naik atau masuk ke bulan yang lebih tinggi dan suci yaitu bulan Ramadhan.
Dalam tradisi Munggahan ini biasanya masyarakat Banten akan berkumpul bersama keluarga, sanak-saudara serta orang-orang terdekat mereka. Bahkan dalam momen ini, mereka yang tinggal dan bekerja di luar kota sekalipun biasanya akan menyempatkan diri pulang ke kampung untuk mengikuti tradisi munggahan bersama keluarga. Kegiatan yang sering dilakukan dalam momen munggahan antara lain : berziarah, bersilaturahim, makan-makan bersama (babacakan/botram) baik itu di rumah, pegunungan, kebun, ataupun di sawah. Namun ada juga yang berkunjung ke tempat-tempat wisata dan makan-makan bersama disana. Maka tidak mengherankan jika pada momen-momen munggahan ini sebagian besar tempat peziarahan akan dipenuhi para peziarah, dan begitupun dengan tempat-tempat wisata akan dibanjiri pengunjung yang semakin membeludak dari hari biasanya.
Baca Juga : Masjid Agung Baiturrachim, Saksi Sejarah Panjang Masyarakat Malingping
Tradisi munggahan ini masih dipelihara hingga kini dan rutin dilaksanakan setiap tahunnya dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat setiap sudut-sudut perkampungan hingga gang-gang sempit kota yang hampir sejengkal pun tidak bisa lepas dari tradisi ini.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, awal mula terlahirnya tradisi munggahan ini memang didasari pada niat yang baik nan luhur, yaitu untuk menyambut dengan suka cita datangnya bulan suci umat islam Ramadhan, serta menjadi momen yang baik untuk mempererat silaturahim dan keharmonisan baik dengan keluarga maupun dengan lingkungan sekitarnya (masyarakat).
Namun demikian, seiring dengan perubahan zaman dan rusaknya peradaban, sebagian dari generasi muda saat ini seringkali menyalah artikan tradisi munggahan ini dan mengisinya dengan hal-hal yang tidak baik. Jika dahulu munggahan identik dengan kegiatan keagamaan dan kekeluargaan (Positif), kini mulai bergeser dan identik dengan berpergian dengan pasangan yang bukan mahramnya (Negatif), terutama pada kalangan muda saat ini. Semoga generasi yang akan datang akan tetap menjaga kemurnian tradisi munggahan dengan cara yang lebih baik dan tetap pada koridor yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Rosul-Nya dan para ulama yang setia menjalankan Sunnahnya.
Baca Juga : Dogdog Lojor, Alat Musik Tabuh Tradisional dari Banten